19 Feb 2010

Sejarah YPAC


Almarhum Prof. Dr. Soeharso adalah seorang ahli bedah tulang ( Orthopaed ) yang pertama kali merintis upaya rehabilitasi penyandang cacat ( Penca ).

Beliau mendirikan pusat rehabilitasi = Rehabilitasi Centrum, yang disingkat dengan R.C bagi korban revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia di Solo pada tahun 1952.

Pada saat itu beberapa daerah terserang wabah poliomyelitis, maka anak – anak dengan gejala post polio dibawa ke Pusat Rehabilitasi ini.

Mula – mula anak – anak tersebut tidak mendapat perhatian karena memang fasilitas tidak ada. Namun hal ini tidak dapat dibiarkan.

Setelah alm. Prof. Dr. Soeharso dalam tahun 1952 menghadiri “International Study a Conference of Child Welfare” di Bombay dan “The Sixty Intenational Conference on Social Work” di Madras, maka atas prakasa beliau pada tanggal 5 Pebruari 1953 didirikan Yayasan Penderita Anak Tjatjat (Y.P.A.T) di Solo dengan Akte Notaris No. 18 tanggal 17 Pebruari 1953.

Rehabilitasi Centrum ( R.C ) sangat besar batuannya dengan memberikan ruangan khusus untuk merintis pelayanan kepada anak – anak dibawa ke Yayasan Penderita Anak Tjatjat ( Y.P.A.T.).

Alm. Prof.Dr. Soeharso meletakkan prinsip – prinsip pekerjaan Yayasan yang dalam garis besarnya sama dengan apa yang dikerjakan di R.C.

Dalam jangka waktu 1 ( satu ) tahun Pengurus Y.P.A.T berhasil mendapatkan bantuan sebuah gedung dari Yayasan Dana Bantuan Departemen Sosial. Tepat pada tanggal 5 Pebruari 1954 dilaksanakan peletakan batu pertama. Enam bulan kemudian pada tanggal 8 Agustus 1954 Gedung Y.P.A.T. yang terletak di Jln. Slamet Riyadi 364 Surakarta dibuka.

Perintis upaya Rehabilitasi Penca alm. Prof.Dr. Soeharso menerima pengakuan / penghargaan dari Luar negeri berupa “Albert Laskar Rehabilitation Award”. Beliau meninggal dunia pada tanggal 27 Pebruari 1971 karena serangan jantung, dunia Rehabilitasi Penca Indonesia kehilangan seorang Bapak yang sejak tahun 1945 sampai tahun 1971 mengabdikan hidupnya pada masyarakat pada umumnya dan para penca khususnya.

Prof Soeharso adalah pemrakasa, perintis pembangunan dan pengembangan dari Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh dan lembaga – lembaga lain, termasuk Yayasan Pembinaan Anak Cacat ( YPAC) yang dulu namanya Yayasan Penderita Anak Tjatjat YPAT). Dengan prestasi – prestasi tersebut beliau mendapat pengahargaan Bintang Mahaputra tingkat III dari Pemerintah RI dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Selanjutnya beliau berkeliling ke berbagai kota untuk menghimbau perorangan maupun organisasi wanita agar mendidirkan Yayasan Y.P.A.T guna memberikan pelayaan rehabilitasi pada anak cacat fisik ( tuna daksa ).

Imbauan beliau mendapat tanggapan dari masyarakat dan Y.P.A.T berkembang ( didirikan ) dibeberapa tempat / wilayah Indonesia dengan kantor pusat YPAC di Surakarta.

Pada tahun 1977 pusat YPAC Indonesia dipindah ke Ibu Kota Jakarta dengan demikian YPAC Surakarta menjadi YPAC daerah Surakarta. Saat ini telah didirikan 16 ( enam belas ) YPAC daerah di Indonesia sebagai berikut :No YPAC Daerah Berdiri Tahun No. YPAC Daerah Berdiri Tahun
1. Surakarta 1953 9.  Bandung 1960
2. Jakarta 1954 10.    Palembang 1960
3. Semarang 1954 11.Medan 1964 
4. Surabaya 1954 12. Manado 1970
5. Malang 1956 13.     Makasar 1973
6. Pangkal Pinang 1956 14. Aceh (NAD) 1979
7. Ternate 1956 15.   Bali 1981
8. Jember 1958 16.    Padang 1991


Copyreg http://ypac.or.id

Jembatan Ampera- Palembang


Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Struktur

Panjang : 1.117 m (bagian tengah 71,90 m)

Lebar : 22 m

Tinggi : 11.5 m dari permukaan air

Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah

Jarak antara menara : 75 m

Berat : 944 ton

Sejarah

Pembangunan jembatan ini dimulai pada tanggal 16 September 1960, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.[1]

Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Menunggu Wajah Baru Jembatan Ampera

Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.

Keistimewaan

Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.

Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.


18 Feb 2010

Tentang MSD Yogyakarta


Memenuhi saran-saran dari mahaiswa LPK MSD dan juga melihat peluang besar profesi Disainer Komunikasi Visual (Disainer Grafis), Akademi MSD resmi berdiri pada tanggal 12 Desember 2002 sesuai SK Mendiknas No. 252/D/O/2000. Sesungguhnya dorongan untuk mendirikan akademi telah bermula sejak tahun 1993, tahun awal pendirian LPK MSD. Namun, Yayasan Pakapti Mulia yang menaungi MSD memilih menunggu hingga fasilitas pendidikan seperti gedung, studio, laboratorium, perpustakaan, dlsb, tersedia lengkap dan memadai. Kemudian kurikulum yang padat dan memenuhi kebutuhan jaman disusun dan dosen-dosen muda yang berprestasi dan berpengalaman sebagai praktisi direkrut. Sehingga Akademi MSD siap mendidik Anda menjadi disainer komunikasi visual yang handal dan profesional. Dengan sekitar 400 mahasiswa, MSD adalah Akademi Seni Rupa dan Disain dengan jumlah mahasiswa terbesar di Jawa Tengah dan DIY.

Tujuan Pendirian Akademi
Membentuk lulusan agar menjadi praktisi profesional di bidang seni rupa dan disain yang mampu terus berinovasi dalam berkarya, mampu menciptakan lapangan pekerjaan, mampu bersaing dalam era perdagangan bebas dunia namun berbudi pekerti luhur sesuai falsafah Pancasila.


Status dan Program Studi
Berdasarkan SK Mendiknas No. 252/D/O/2000, Akademi MSD memperoleh status Terdaftar untuk Program Studi Disain Komunikasi Visual.


Tujuan Pendidikan
Mendidik mahasiswa agar menjadi tenaga profesional di bidang disain komunikasi visual yang berkemampuan :

Mencari gagasan baru dan berpikir pragmatis dalam proses penciptaan karya disain komunikasi visual.

Merencanakan strategi visual melalui media sebagai suatu paket rancangan komunikasi visual sesuai dengan kondisi yang ada.

Menyajikan rancangan disain komunikasi visual secara mandiri untuk sign system, corporate identity, tipografi, sales promotion atau periklanan yang komunikatif, persuasif, artistik dan "menjual".

Disainer Grafis, Profesi Bergengsi

Disain Komunikasi Visual atau yang populer disebut Disain Grafis merupakan lahan profesi bergengsi yang makin diminati kaum muda saat ini. Teknologi komputer yang makin canggih membuat dunia Disain Komunikasi Visual kian marak. Ide-ide kreatif dapat dituangkan tanpa batas dalam merancang berbagai media komunikasi visual, seperti brosur, iklan, poster, website, kemasan, sign, film animasi, corporate identity, dan lain-lain. Tak heran jika profesi Disainer Komunikasi Visual/Disainer Grafis menjadi pilihan yang tepat bagi mereka yang berjiwa dinamis dan kreatif. Peluang untuk bekerja begitu besar dengan gaji dan fasilitas yang baik. Kesempatan berwirausaha pun terbuka luas.


Fasilitas Lengkap, Posisi Strategis
Fasilitas ruangan yang ber-AC serta peralatan yang lengkap tentu akan membuat lancar proses belajar-mengajar. Gedung kampus Akademi MSD yang megah dan berwarna-warni dirancang khusus untuk menumbuhkan suasana yang menunjang kreativitas. Terletak di jalan Taman Siswa, jalur pendidikan bergengsi di Yogyakarta, Akademi MSD mudah dijangkau dengan angkutan umum. Selain ruang-ruang kelas yang nyaman tersedia pula fasilitas pendidikan penting seperti:

Laboratorium Komputer

Tersedia 2 unit laboratorium komputer berisi total 62 unit komputer Pentium IV sistem jaringan, dilengkapi dengan printer dan scanner.

Studio Foto

Terdapat 2 studio foto dengan berbagai peralatan fotografi yang lengkap dan modern, seperti lampu studio Hensel dan Visatec, kamera digital, kamera medium format Mamiya, table-top dan sebagainya.

Studio Airbrush

Untuk praktek ilustrasi airbrush, tersedia studio dengan 15 unit airbrush Badger.

Perpustakaan

Untuk menambah wawasan, tersedia perpustakaan yang luas dan nyaman dengan berbagai koleksi buku seni rupa, periklanan dan disain grafis, terbitan luar maupun dalam negeri.

Materi yang Dipelajari

Mata kuliah teoritis seringkali membuat bosan dan jenuh. Padahal sedikit sekali mata kuliah tersebut dapat diterapkan di dunia kerja yang sesungguhnya. Tidak begitu halnya yang dipelajari di Disain Komunikasi Visual karena merupakan paduan 30% teori yaitu berupa mata kuliah umum dan teori-teori yang menunjang perancangan, serta 70% praktek berupa Nirmana, Ilustrasi, Komputer Grafis, Fotografi Disain, Animasi Komputer, Visual Merchandising. Dan sebagainya. Segala hal yang akan ditemui di dunia kerja dipelajari di sini.Melalui proses belajar yang serius namun penuh keakraban, para dosen Akademi MSD akan membimbing mahasiswa mulai dari pengembangan bakat sampai dengan penguasaan kemampuan (skill) baik secara manual maupun dengan komputer grafis.

http://www.msd.ac.id

SEJARAH SMSR YOGYAKARTA


SEJARAH SMSR / SMK 3 Kasihan Bantul Yogyakarta

Berbicara sejarah SMSR Yogyakarta tidak dapat lepas dari nama besar ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang berdiri di Yogyakarta pada 1950. Peserta didik ASRI terdiri dari dua jenjang, yaitu lulusan SMP dan lulusan SLTA. Lama pendidikan bagi lulusan SMP adalah 3 tahun dan setelah tamat mendapatkan Ijasah I (merupakan embrio SMSR). Bagi yang ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya harus menempuh 2 tahun lagi, dan mendapatkan Ijasah II (setara akademi).
ASRI membuka 5 jurusan, yaitu:
1. Seni Lukis
2. Seni Patung
3. Pertukangan / Kerajinan
4. Reklame, Dekorasi, Ilustrasi Grafik
5. Pendidikan Guru Seni Rupa

Lulusan SMP hanya diperbolehkan masuk di jurusan Seni Lukis, Seni Patung, dan Pertukangan/Kerajinan. Sedangkan dua jurusan lainnya diperuntukkan bagi lulusan SLTA.

Tahun 1957 ASRI menempati gedung baru di Jl Gampingan 1 Yogyakarta, pindah dari kampus pertamanya di kawasan Bintaran.

Tahun 1963 muncul gagasan untuk memisahkan peserta didik lulusan SLTP dan SLTA.Dualistis pendidikan ASRI (tingkat akademis dan tingkat menengah) tidak dapat dipertahankan lagi. ASRI harus menjadi akademi sepenuhnya. Sementara pendidikan tingkat menengah di ASRI dipisahkan menjadi Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI).

5 April 1963 keberadaan SSRI Yogyakarta diresmikan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 3 / Men P&K/1963 (?), merupakan penjelmaan dari 3 jurusan di ASRI, yaitu (1) Seni Lukis, (2) Seni Patung, dan (3) Kerajinan. Pada saat diresmikan, SSRI sudah memiliki 3 jurusan dan siswa tingkat I, II, dan III. Siswa tingkat III menjadi lulusan pertama SSRI . Pimpinan sekolah dipegang oleh sebuah Direktorium yang terdiri atas 3 orang, yaitu: Subagyo, Setyadi, dan Suhardjo MS. Semua tenaga pengajar masih berstatus sebagai pengajar ASRI. Setahun kemudian (1964) beberapa pengajar diangkat menjadi guru tetap SSRI, antara lain: Subagyo, Setyadi, Suhardjo MS, Soelardi, M. Soedarmo, Djokohardjono, dan Mulyadi. Tenaga Tata Usaha dikepalai oleh R. Subagyo. Semua staf TU adalah tenaga honorer atau berstatus tenaga ASRI.Gedung dan peralatan pendidikan masih menjadi satu dengan ASRI sehingga proses belajar-mengajar dilaksanakan sore hari di gedung ASRI Gampingan.
Pimpinan SSRI dalam bentuk Direktorium hanya berlangsung 1 tahun. Pada 1964 Subagyo diangkat menjadi Direktur pertama SSRI Yogyakarta. Karena kesehatannya maka pada 1965 ia digantikan Setyadi sebagai Direktur ke dua sampai 1975. Pengganti Direktur berikutnya adalah Suhardjo Ms.
Tahun 1974 ada pembaruan kurikulum yang dikenal dengan Kurikulm 1974. Perubahan mendasar adalah:
- Lama pendidikan 4 tahun
- Jurusan-jurusan pada Kurikulum 1963 dihapus dan digantikan dengan Studio-studio Praktek Seni Rupa yang terdiri 9 macam, yaitu: (1) Studio Seni Lukis; (2) Studio Seni Patung; (3) Studio Seni Kriya Kayu; (4) Batik; (5) Reklame; (6) Dekorasi; (7) Ilustrasi; (8) Grafik; dan (9) Keramik.

Tahun 1976 SSRI dan sekolah kesenian lainnya dimasukkan ke kelompok Sekolah Kejuruan, sama dengan STM, SMEA, SMIK, dsb.
Tahun 1977 nama SSRI disesuaikan menjadi SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa), sekaligus menerapkan Kurikulum baru yang dinamai "Kurikulum 1977."
Pembangunan gedung SMSR di Karangmalang belum sepenuhnya selesai, baru sekitar 50%, namun tanpa menunggu selesai, SMSR pindah ke kampus baru di Karangmalang, berdekatan dengan kampus ASTI dan IKIP Negeri.Waktu belajar dilaksanakan pagi hari mulai jam 07.00.
Perhatian Direktorat Dikmenjur terhadap pengembangan sekolah-sekolah kesenian di DIY sangat besar. Muncul gagasan mempersatukan tiga sekolah, SMKI, SMM, dan SMSR.
Tahun 1978 mulai diadakan survei lahan di kawasan Bugisan. Tiga tahun kemudian (1981) mulai dibangun kampus besar di kampung Jomegatan, Jl PG Madukismo (lebih dikenal sebagai Jl Bugisan), masuk di wilayah Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.

Pada 1977 berganti nama menjadi Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Nama inilah yang terasa akrab di kalangan masyarakat yang mempunyai hubungan emosional dengan sekolah seni rupa. Pada tahun 1997 secara nasional semua pendidikan Menengah Kejuruan berganti nama menjadi SMK. Karena berada di Kecamatan Kasihan maka SMSR berubah menjadi SMK Negeri 3 Kasihan Bantul.

TUJUAN

Menyiapkan tamatan agar menjadi warga negara yang berbudi luhur berakhlak mulia dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kompentensi seni rupa yang terampil dan kreatif yang dapat diterapkan di dunia kerja. Mampu berwirausaha secara mandiri, baik sebagai pengusaha maupun seniman.

VISI

Menjadi leader SMK Seni Rupa dan Kria dalam menghasilkan lulusan profesional yang cerdas, terampil, berkepribadian, dan mampu bertindak efisien, cekatan, dan fleksibel terhadap perkembangan.

MISI
Melaksanakan pembelajaran seni rupa & kria yang optimal, kreatif dan inovatif.
Mengembangkan etos kerja yang kondusif, produktif & efisien dalam pembelajaran KBK.
Mengembangkan hubungan sekolah dengan DU/DI dan instansi lain yang sinergis.
Melengkapi sarana dan prasarana sekolah sesuai kebutuhan pembelajaran.
Menerapkan prinsip-prinsip Manajemen Mutu ISO 9001 � 2000.

http://smsrjogja.sch.id

17 Feb 2010

SEJARAH KOTA PALEMBANG

Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.

Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
Daerah pesisir timur laut.

Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara

Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.

Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.

Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.

Dari sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah Palembang sebagai satu kekuatan tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan Palembang. Menurut catatan Cina raja Palembang yang bernama Ma-na-ha Pau-lin-pang mengirim dutanya menghadap kaisar Cina tahun 1374 dan 1375.Maharaja ini barangkali adalah raja Palembang terakhir, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada tahun 1377. Berkemungkinan Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke semenanjung, dimana ia singgah lebih dulu ke pulau Temasik dan mendirikan kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah dia berperang melawan orang-orang Siam. Dari Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, maka Melaka menjadi kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Sriwijaya.Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi chaos. Majapahit tidak dapat menempatkan adipati di Palembang, karena ditolak oleh orang-orang Cina yang telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.

Meskipun setiap kelompok ini mempunyai pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari majapahit dan mengangkat Liang Tau-ming sebagai pemimpin mereka.Pada masa ini Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orang-orang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris dari Cina, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali muncul di Palembang guna memberantas para bajak laut ini. Pada tahun 1407 setelah kembali dari pelayarannya dari barat, Chen-ho sendiri telah menangkap toko bajak laut dari Palembang yaitu Chen Tsui-i. Chen-ho membawa bajak laut ini kehadapan kaisar, kemudian dihukum pancung ditengah pasar ibukota. Namun beberapa toko bajak laut di lautan cina seperti Chin Lien, pada tahun 1577 telah bersembunyi di Palembang dan kemudian menjadi pedagang yang disegani di Palembang. Chiang Lien sebagai pengawas perdagangan untuk cina. sebetulnya kedudukan ini adalah suatu jabatan yang disahkan oleh kaisar dan mempunyai wewenang mengatur hukum, imbalan, penurunan ataupun kenaikan (promosi) bagi warga Cina di Palembang. Dapat dibayangkan bahwa kekuasaan orang-orang Cina di Palembang hampir 200 tahun.

Masa Kesultanan Palembang

Menurut Tomec Pires yang menulis sekitar tahun kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina du Palembang adalah akibat kebangkitan Islam di wilayah Palembang sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546, yang melibatkan Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang, dimana kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri ke Palembang.Para pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di komplesk PT. Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri.Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palemban, memutus hubungan ideologi dan kultural ddengan pusat kerajaan di Jawa (Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahma, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan).Sultan Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo (1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton Kuto Batu (sekarang berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang). Selain itu dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang berfungsi ganda, yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk pertahanan. Badaruddin Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi Batanghari Sembilan sebagai satu lebensraum dari kekuasaan Palembang. Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu - Jawa, yaitu adalah delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan penjuru kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di keraton Palembang (lebih tegas lagi berada ditangan Sultan yang berkuasa).

Menurut Tomec Pires yang menulis sekitar tahun kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina du Palembang adalah akibat kebangkitan Islam di wilayah Palembang sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546, yang melibatkan Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang, dimana kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri ke Palembang.Para pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di komplesk PT. Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri.Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palemban, memutus hubungan ideologi dan kultural ddengan pusat kerajaan di Jawa (Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahma, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan).Sultan Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo (1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton Kuto Batu (sekarang berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang). Selain itu dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang berfungsi ganda, yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk pertahanan. Badaruddin Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi Batanghari Sembilan sebagai satu lebensraum dari kekuasaan Palembang. Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu - Jawa, yaitu adalah delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan penjuru kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di keraton Palembang (lebih tegas lagi berada ditangan Sultan yang berkuasa).

Dari seluruh pelabuhan di wilayah orang-orang Melayu, Palembang telah membuktikan dn terus secara seksama menjadi pelabuhan yang paling aman dan peraturan paling baik, seperti dinyatakan oleh orang-orang pribumi dan orang-orang Eropa. Begitu memasuki perairan sungai, perahu-perahu kecil, dengan kewaspadaan yang biasa siaga dengan tindakan-tindakan perampasan. Kemungkinan perahu perampok yang bersembunyi akan memangsa perahu-perahu dagang kecil yang memasuki sungai, jarang terjadi, karena ketatnya penjagaan oleh kekuatan Sultan dengan segala peralatannya.Selain kekayaan yang melimpah dari baiknya pelayanan pelabuhan dan perdagangan, membuat Palembang mempunyai kesempatan memperkuat pertananannya. Ini dibuktikannya oleh Sultan Muhammad Bahauddin mendirikan keraton Kuto Besak pada tahun 1780. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.

Masa Belanda

Palembang sebagai Ibukota Kesultanan Palembang Darussalam pada saat dibawah pemerintah kolonial Belanda dirombak secara total dari sisi penggolongan kotanya. Pada awalnya wilayah pemukiman penduduk kota Palembang, dizaman Kesultanan lebih dari sekedar pemukiman yang terorganisir. Pemukiman pada waktu itu adalah suatu lembaga persekutuan dimana patronage dan paternalis terbentuk akibat struktur masyarakat tradisional dan feodalistis. Keseluruhan sistem ini berada dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan nama gugu(k). Kosakata gugu berasal dari jawa - Kawi yang berarti : barang katanya, diturut, diindahkan.Setiap guguk mempunyai sifat sektoral ataupun aspiratip. Sekedar untuk pengertian meskipun tidak sama, bentuk guguk ini dapat dilihat dengan sistem gilda pada abad pertengahan di Eropa. Contoh nama wilayah pemukiman yang dikenal sebagai Sayangan, adalah wilayah dimana paramiji dan alingan(struktur bawah dari golongan penduduk kesultanan) yang memproduksi hasil-hasil dari bahan tembaga. Sayangan artinya pengerajin tembaga (Jawa Kawi). Produksi ini dilakukan atas perintah dari bangsawan yang menjadi pimpinan (guguk) yang menjadi pelindung terhadap kedua golongan baik miji maupun alingan (orang yang di-alingi/dilindungi). Hasil produksi ini merupakan pula income bagi sultan dan kesultanan.Contoh lain dalam adalah wilayah pemukiman mengindikasikan wilayah guguk, yaitu : kepandean adalah rajin atau pandai besi, pelampitan adalah perajin lampit, demikian juga dengan kuningan adalah perajin pembuat bahan-bahan dari kuningan.Pemukiman ini dapat pula bersifat aspiratif, yaitu satu guguk yang mempunyai satu profesi atau kedudukan yang sama, seperti guguk Pengulon, pemukiman para pendahulu dan alim ulama disekitar Mesjid Agung.

Demikian pula dengan kedemangan, wilayah dimana tokoh demang tinggal, ataupun kebumen yaitu tempat tempat dimana Mangkubumi menetap. Disamping ada wilayah-wilayah dimana kelompok tertentu bermukim, seperti Kebangkan adalah pemukiman orang-orang dari Bangka, Kebalen adalah pemukiman orang-orang dari Bali.Setelah Palembang dibawah adminstrasi kolonial, maka oleh Regering Commisaris J.I Van Sevenhoven sistem perwilayahan guguk harus dipecah belah. Pemecahan ini bukan saja memecah belah kekuatan kesultanan, juga sekaligus memcah masyarakat yang tadinya tunduk kepada sistem monarki, menjadi tuduk pada administrasi kolonial. Guguk dijadikan beberapa kampung. Sebagai kepala diangkat menjadi Kepala Kampung, dan di Palembang dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Untuk mengepalai wilayah tersebut diangkat menjadi Demang. Demang adalah pamongraja pribumi yang tunduk kepada controleur. Kota Palembang pada waktu itu terdiri dari 52 kampung, yaitu 36 kampung berada di seberang ilir dan 16 kampung di seberang Ulu. Kampung-kampung ini diberi nomor yaitu dari nomor 1 sampai 36 untuk seberang ilir, sedangkan seberang ulu dari 1 sampai 16 ulu.Pemberian nomor-nomor kampung ini penuh semangat pada awal pelaksanaannya, tetapi kemudian pembagian tidak berkembang malah menyusut. Pada tahun 1939 kampung tersebut menjadi 43 buah, dimana 29 kampung berada diseberang ilir dan 14 kampung berada di seberang ulu.

Dapat diperkirakan penciutan adminstratif kampung ini karena yang diperlukan bukannlah wilayahnya, tetapi cacah jiwanya yang ada kaitan dengan pajak kepalanya. Sehingga untuk itu digabungkanlah beberapa kampung yang cacah jiwanya minim, dan cukup dikepalai oleh seorang Kepala Kampung.Oleh karen Kepala Kampung hanya mengurus penduduk pribumi, maka untuk golongan orang Timur Asing, mereka mempunyai Kepala dan wijk tersendiri. Untuk golongan Cina, kepalanya diangkat dengan kedudukan seperti kepangkatan militer, yaitu Letnan, Kapten dan Mayor. Demikian pula dengan golongan Arab dan Keling (India/Pakistan) dengan kepalanya seorang Kapten. Untuk kedudukan kepala Bangsa Timur Asing, biasanya dipilih berdasarkan atas pernyataan jumlah pajak yang akan mereka pungut dan diserahkan bagi pemerintah disertai pula jaminan dana begi kedudukannya.Pemerintah Kota Palembang pada 1 April 1906 menjadi satu Stadgemeente. Satu pemerintahan kota yang otonom, dimana dewan kota yang mengatur pemerintahan. Penduduk menyebut pemerintah kota ini adalah Haminte. Ketua Dewan Kota adalah Burgemeester (Walikota), dia dipilih oleh anggota Dewan Kota. Anggota Dewan Kota dipilih oleh penduduk kota.Sebenernya pemerintah kota bukanlah dibentuk untuk tujuan utama memenuhi kepentingan pribumi, akan tetapi lebih kepada kepentingan para pengusaha Barat yang sedang menikmati liberalisasi. Karena dampak liberalisasi menjadikan kota sebagai pusat atau konsentrasi ekonomi, baik sebagai pelabuhan ekspor, industri, jasa-jasa perdagangan dan menjadi markas para pengusaha.

Di Era Zaman Jepang

Dizaman penduduk Jepang (1942-1945), secara struktural tidak ada perubahan kedudukan kepala kampung. Hanya gelarnya saja yang berubah, yaitu menjadi Ku - Co dan mereka dibawah koordinasi Gun - Co. Tugasnya dititik beratkan pada pembangunan ekonomi peperangan Jepang. Untuk merapatkan barisan dikalangan penduduk, diperkenalkan suatu sistem lingkungan Jepang, Tonari - Gumi, yaitu Rukun Tetangga yang meliputi setiap 10 rumah di suatu kampung. Tonari - gumi dipimpin oleh seorang Ku - Mi - Co (Ketua RT).

Kegiatan Pembangunan yang Menonjol

Masa Kerajaan Sriwijaya

Pusat pemerintahan dan pemukiman terletak di bagin barat kota Palembang. Bentuk pembangunan yang dilakukan berupa :
Tata ruang dan saluran air serta pengurukan dan penimbunan daerah rawa (di Kelurahan Karang Anyar, kelurahan Bukit Lama dan Kecamatan Seberang Ulu I), baik bentuk istana, pemukiman warga maupun tempat ibadah.
Bangunan tempat ibadaha berupa Vihara dan kelengkapannya.
Pembangunan pelabuhan, serta sarana Transportasi.
Pembangunan Istana serta rumah-rumah tempat tinggal penduduk, baik diatas daratan, maupun di atas sungai berupa rakit dan rumha bertiang di atas rawa.
Pembangunan industri antara lain industri manik-manik di Ilir Barat.
Pembangunan Taman Srisetra dibagian barat kota (Prasasti Karang Tuo).

Masa Kesultanan Palembang

Pusat pemerintahan pada awal kebangkitan, di bagian timur kota palembang (di sekitar PT. PUSRI dan Kelurahan I Ilir). Kemudian setelah hampir satu abad pindah ke bagian tengah di Kelurahan 19 Ilir, bentuk pembangunan yang dilakukan berupa :
Keraton/Istana Kuto Gawang (PT Pusri I Ilir), Kuto Lamo dan Kuto Besak (Kelurahan 19 Ilir).
Benteng pertahanan (pemasangan lantai di Sungai Musi untuk menghalangi kapal musuh).
Mesjid (di I Ilir, Beringin Janggut dan Mesjid Agung 19 Ilir).
Pelabuhan dan tempat penambatan angkutan sungai.
Makam raja-raja Palembang.
Penataan tata ruang kota (seperti Kepandean, Sayangan, Kebumen, Depaten).
Pembangunan oleh masyarakat (klenteng, rumah limas, industri rumah tangga tenunan, ukiran, dll)

Masa Penjajahan Belanda

Berdasarkan catatan pelaksanaan pembangunan kota yang berencana baru di mulai pada awal terbentuknya pemerintahan kota di tahun 1900-an, seperti dibawah ini :
30 September 1918 Pemerintah Kota menetapkan tentang pendirian dan pembongkaran bangunan, yaitu Verordening op het bouwen en sloopen in de Gemeente Palembang.
1935 diterbitkan Bouwverordening der Gemeente Palembang berupa Standsplan (Rencana Tehnik Ruang Kota), yang kemudian dengan diterbitkannya peta rencana, peta situasi atau peta penggunaan tanah (detail plan).

1906 - 1935

Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota Palembang antara 1906-1935 adalah sebagai berikut :
Pembelian lapangan-lapangan untuk menimbun bahan bangunan.
Pembuatan Jembatan Sungai Ogan.
Perbaikan Jalan Seberang Ulu dari Ogan ke Plaju melalui 10 Ulu (Jl. KH. Azhari).
Pembuatan medan lalu lintas dekat 10 Ulu dan Tengkuruk.
Menyediakan lapangan-lapangan untuk lanjutan jalan kereta api Sum-Sel dari Kertapati ke Seberang.
Menyediakan Lapangan pelabuhan di Seberang Ulu.
Pendalaman alur sungai Musi.
Perbaikan jalan dengan pembuatan jalan - jalan tembus dan pelebaran jalan antara Pelabuhan Tengkuruk - talang Jawa; Jl. Gevangenis (Jl. Lembaga Pemasyarakatan) - Boom Baru.
Perbaikan tempat-tempat berlabuh untuk kapal-kapal sungai di 19 Ilir ( Pelabuhan/ponton).
Penyediaan tempat transit yang mendesak dari Kertapati (titik ujung jalan kereta api Sum-Sel) yang dapat dicapai oleh kapal-kapal laut, yang mengambil batubara dari tambang bukit asam.
Realisasi stands plan (Master Plan Kota) Kota Palembang. Ini adalah penetapan lokasi-lokasi :
Industrial estate di daerah Sungai Gerong dan Plaju.
Real Estate di Talang Semut.
Sistem Ring and Radial bangunan jalan kota (yang saat itu baru sampai di Talang Grunik sebagai lingkar II) Jl. Kapten Arivai dan Jl. Veteran sekarang).

1935 - 1950

Jepang

Perubahan bayas kota dengan memasukkan pelabuhan udara Talang Betutu ke dalam Administrasi Kotapraja.
Pembangunan jalan By Pass dengan nama jalan Miaji (Jl. Jend. Sudirman).
Pembangunan landasan pesawat udara :
Pembangunan Pelabuhan Udara di Betung.
Lapangan terbang di Talang Balai.
Perbaikan pelabuhan laut di kota Palembang.
Pembangunan lapangan Pesawat Udara di Sungai Buah.
Perluasan lapangan udara talang Betutu (SMB II).
Pembukaan jalan yang dimulai dari Simpang Mesjid (Simp. Jl. TP. Rustam Effendi) sampai ke simpang Charitas (Jl. Jend. Sudirman).
Perbaikan dan pelebaran serta pelurusan Jl. Ke Talang Betutu (Jl. Kol. H. Burlian).

1950 - 1960

Pembangunan Pasar :
Lingkis (Cinde)
Kertapati
Lemabang
Buah (Jl. Kol. Atmo/Tp. Rustam Effendi)
Kuto.
Perumahan Rakyat :
Sungai Buah dan Talang Betutu

Air Bersih : Perluasan Penyaringan
Pemasangan pipa induk, dari penyaringan ke Jl. Jend. Sudirman
Pipa Suro, Tangga Buntung - Ladang Plaju - Rimab Seru
Pemasangan pipa 270 Km
Peningkatan produksi menjadi 23.000 m3/hari

Pembangunan jalan lingkar I, Jl. Jend. Sudirman ke Simpang Cinde Welan

Panjang jalan dalam kota 225 Km

Penimbunan Musi Boulevart

Perumahan Proyek Khusus Kebangkan (PCK)

Pembebasan tanah peruntukan :
Daerah Indusri PT. Pusri
Universitas Sriwijaya
Traffic Garden di Bukit Besar
Pembangunan Balai Pertemuan di Jl. Sekanak.

Pembangunan Stasion Kamboja.

Pembuatan Kanal (terusan) Sungai Bendung.

Pembangunan Penyebrangan Tangga Buntung - Kertapati.

Pembukaan jalan Tangga Buntung ke Gandus.

1960 - 1970

Pembangunan Jembatan Musi (Jembatan Ampera) April 1962 - Mei 1965

Perbaikan Kampung

Pembangunan sekolah dasar

Pembangunan Perumahan Pegawai di Jalan Duku (Sumur Batu), Jl. Makrayu dan PCK

Pemugaran Makam Raja-raja Palembang, Rumah Bari

Peningkatan Kebersihan

Terminal Bawah Jembatan Ampera

Pertokoan Tengkuruk By Pass (Permai)

Pasar 10 Ulu

Pemekaran kampung 20 Ilir jadi 4, 26 ilir jadi 2, Sungai Batang dibagi dengan Sungai Selincah

1970 - 1980

Sasaran pembangunan : Jalan, Air Bersih, Listrik dan Kebersihan. Pembangunan Proyek Non Bujeter :

Sumbangan Pertamina
Upgrading Jalan dalam Kota :
1969/1970 Jalan Utama Veteran, Harapan, Jl. Jend. Sudirman dan Jl. Jend. A.Yani (aspal beton).
1970-1971 Jalan-jalan dalam kota di lebarkan menjadi lebar rata-rata 8 m.
1973-1974 Upgrading jalan dalam kota.
1975-1976 Jalan-jalan di sekitar Pasar 16 ilir.

Sumbangan dari PT. PUSRI
3 buah jembatan penyebrangan pejalan kaki di jalan Jend. Sudirman.

Makmur Store
Menyumbang 1 buah jembatan penyebrangan jalan di Jl. Jend. Sudirman

1975 - 1978 perusahaan-perusahaan industri menyumbang 16 buah Shelter Bus.

Pembangunan petak-petak pasar secara swadaya masyarakat, peremajaan dan modernisasi pasar atau pusat perbelanjaan.

1974 pembangunan gedung pusat pemerintahan Kotamadya. Penetapan hari jadi kota Palembang.

Sasaran pembangunan diarahkan pada pembangunan sistem drainage (Pengeringan Kota)

Pembangunan Sistem Makro dan Sistem Mikro

Sistem Makro : meliputi Saluran induk dengan memanfaatkan sungai-sungai dan kolam-kolam (Retention Basin).

Sistem Mikro : Meliputi saluran-saluran pengumpul dari daerah-daerah aliran ke saluran-saluran utama dan kesaluran induk.

Tahap Pelaksanaan :

Program mendesak
Pembersihan sungai Bendung dan Sungai rendang.
Pembuatan/peningkatan saluran-saluran primer, siring-siring dan koker-koker.
Program Jangka Pendek
Normalisasi Sungai Sekanak, sungai bendung
Peningkatan/pembuatan saluran primer dan saluran sekunder antara kedua sungai tersebut.
Program Jangka Menengah
Perancangan detail dan pelaksanaan di wilayah lingkaran II
Normalisasi sungai-sungai, peningkatan /pembuatan saluran-saluran primer and sekunder.
Jangka Panjang
Lanjutan Studi dan perancangan sistem drainage secara keselurahan.
Perbaikan dan normalisasi sungai rendang.
Survey design sungai-sungai di daerah Seberang Ilir.
Rehabilitasi anak sungai Bayas.
Program Perbaikan Kampung (Kampong Improvment Program).

1979 - 1980

Untuk Kampung 9,10,11,13,14 ilir dan 1 ulu, dengan luas areal 40 ha untuk penduduk 30.210 jiwa. 1981 - 1982

Untuk Kampung 1,2 ulu, 13,14, 19, 22, 26, 26, 27 dan 28 ilir, dengan luas areal 80 ha untuk penduduk 41.654 jiwa.

1982 - 1983

Untuk Kampung 8,9,10,11,24,26,29,30dan 32 ilir, dengan luas areal 125 ha untuk penduduk 75.358 jiwa.

1983 - 1984

Diusulkan untuk Kampung 35 ilir, 3, 4, 5, 7 ulu, kertapati dan ogan baru dengan luas areal 75 ha untuk penduduk 99.126 jiwa.

Dalam realisasinya perbaikan kampung dilakukan pada kelurahan 29, 30, 32, 35 ilir, 3/4, 5,7 dan 8 ulu.

1984 - 1985

Untuk Kelurahan 3/4, 5,7,11,12 ulu, kertapati dan Ogan Baru.

1986 - 1987

Untuk kelurahan karang anyar, 36, 35, 32 ilir, 8, 11, 12, 13, 14 ulu, dan Tangga Takat.

1987 - 1988

Untuk kelurahan 2, 3, 5 ilir, dan 13, 14 ulu. Bentuk pembangunan KIP ini antara lain :

Jalan Lingkungan (aspal), Konstruksi Ris Beton, Konstruksi jembatan beton, kran air minum, MCK, Bak sampah, Gerobak Sampah, Buis Beton, SD Bertingkat, Puskesmas.

1981
Pembangunan kembali daerah yang terbakar dikampung 22, 23, 24 dan 26 ilir denagn areal site seluas 236.078 M2 dengan bangunan rumah flat 4 lantai, pelbagai tipe sebanyak 3.584 Unit lengkap dengan prasarana dan fasilitas lingkungan dan 214 kapling tanah siap bangun.

Pembebasan Tanah

Untuk rencana pemindahan terminal bawah jembatan Ampera Seberang Ilir ke wilayah seberang ulu baik untuk terminal Penumpang maupun unutk barang ± 8 Ha.
Pembangunan taman-taman kota.
Pembangunan jalan dengan sistem Ring dan Radial sesuai Peta 1930.
Peningkatan Kebersihan dengan Pemantapan Program PALEMBANG KOTA BARI.
Panjang Jalan dalam kota = 282.290 Km, terdiri dari :
Jalan Arteri = 61.220 Km
Jalan Arteri Sekunder = 58.752 Km
Jalan Kolektor dan lokal = 162.418 Km

Penambahan dan Pembukaan Ring dan Radial
Jalan Radial soak Bato ke Jalan kapten Arivai.
Jalan Lingkungan II dari Jl. Letkol Iskandar tembus ke Jalan segaran.
Jalan Radial dari Lingkaran I tembus ke Jalan Veteran.
Jalan Lingkaran Luar dari Gandus Ke Macan Lindungan, Jl. Demang lebar daun.

Jumlah jembatan yang ada di kota Palembang sebanyak 116 buah, terdiri dari :
Jembatan beton 80 buah
Jembatan Besi 7 buah
Jembatan kayu 29 buah

Pembangunan permukiman Kenten Sako, Polygon dan rumah susun.

Drainage

Sejak 1980 - 1987 dibangun saluran sepanjang 333.671 Km, tersebar dari jalan Kapten A. Rivai ke arah Sungai Musi dan Daerah Seberang Ulu.
1987 - 1988 dibangun proyek pengeringan kota sepanjang 7.740 Km untuk lokasi di Kecamatan Ilir Barat I dan Ilir Timur I.
1988 Sumatera Selatan ditetapkan sebagai Daerah Tujuan Wisata ke - 17. Kota Palembang sebagai ibukota Propinsi menjadi Daerah Utama yang dijadikan sasaran pembangunan kepariwisataan. Obyek wisata yang ditonjolkan adalah wisata air dan budaya.

1990 - 1999
Pembangunan RSUD dan Jalan Menuju Ke RSUD
Jalan Keramasan - Musi II - Macan Lindungan
Jembatan Musi II
Jalan Mas krebet
Jalan Kebun Bunga
Jalan Tembus Jalan Sudirman ke Sako
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya
Reklamasi Seberang Ulu I
Jalan Menuju tanjung Api-api
Jalan tembus Jalan Jend. A. Yani ke Dusun Rambuatan
Jalan Lingkar Selatan
Jalan Gandus ke Jalan raya Palembang - Betung
Jalan Musi II ke Pembuangan sampah Kelurahan Keramasan
Jalan Tembus Jalan Macan Lindungan ke Jalan haji Burlian
Pembangunan Pemakaman Kebun Bunga (Silk Air)
Pembangunan Retaining Wall depan Benteng Kuto Besak

SEJARAH JOGJAKARTA

KOTA YOGYAKARTA

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Didaerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.

http://www.jogjakota.go.id/

Apa yang anda cari